Oleh: Moch. Nuril Chofit (Sekretaris Umum HmI Komisariat Syariah Sunan Ampel)
Pada
abad ke -16, pada saat Nicolas Copernicus mengajukan hipotesis tentang
heliosentris, yang kemudian dilanjutkan Johanes Keppler dengan teori
peredaran bumi dan Galileo Galilei dengan teori bintang jatuhnya
merupakan awal dibukanya akal manusia dari abad kegelapan. Sampai
akhirnya Francis Bacon dengan metode induktifnya mampu menempatkan alam
sebagai objek penelitian, tentunya dengan metode ilmiah. Mulai pada saat
itulah kebenaran diukur hanya dengan pandangan positivistik, yang
merupakan akal permasalahan kapitalisme.
Konsep kapitalisme lahir
bersamaan dengan awal lahir gerakan reformasi yang menggugat terhadap
praktek absoulutisme kekuasaan Gereja (Katholik). Inilah yang kemudian
melahirkan apa yang oleh Max Webber dalam "The Protestan Ethic and The
Spirit of Capitalism", disebut sebagai etika Protestan sebagai landasan
ajaran Calvin. Menurut Calvin bahwa "kerja bukanlah semata-mata sarana
atau alat ekonomi, kerja adalah tujuan akhir sipiritual.."
Ideology
kapitalisme juga telah melahirkan masyarakat konsumtif yakni masyarakat
yang hanya menerima kebutuhan sebagai penampung hasil produksi. Ideology
kapitalisme juga sangat mengagungkan ilmu dan teknologi serta
mengingkari nilai-nilai instrinsik alam. Menurut Hermann Kahn seorang
futurlog "kapitalis menyatakan bahwa teknologi ialah motor kemajuan dan
ilmu adalah bahan bakarnya."
Dalam perkembangannya kapitalisme bukan
lagi hanya berupa sistem ekonomi tetapi telah berkembang lebih kompleks.
Kapitalisme kini telah menjadi sistem yang telah menguasai seluruh
kehidupan dari sistem sosial sampai sistem pendidikan. Bahkan telah
menjadi 'agama baru' bagi manusia. Kompleksitas dari ideology
kapitalisme itulah yang kini telah menjadi sebuah peradaban baru.
Peradaban baru tersebut tidaklah seperti peradaban klasik yang bersifat
regional terapi peradaban global, diamana umat manusia dibelahan bumi
manapun menjadi pengikut ajarannya.
Sedangkan pada tataran ekonomi
kapitalisme pun mengalami perkembangan yang terbagi dalam beberapa
periode yakni, pertama: periode kapitalisme liberal. Dalam periode ini
negara ditempatkan sebagai subordinat atau sekedar institusi yang
bertugas pasif, tidak campur tangan dalam urusan warga negaranya,
kecuali hal yang menyangkut kepentingan publik. Kedua: periode
kapitalisme teroraginisir atau Keynesian Period (period of organized
capitalism). Periode ini berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai pasca
Perang Dunia Ke-II. Perubahan setelah kekalahan kaum liberal, yakni
dengan perkembangan sistem ekonomi dan sosial. Dalam sistem ekonomi
muncul sentralisasi produksi, modal dan perdagangan. Pasca Perang Dunia
Ke-II, perubahan-perubahan terjadi sesuai dengan merebaknya paham
sosialisme dan pengaruh aliran ekonomi yang di pelopori oleh ahli
ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946). Penguatnya doktrin
Keynes akarnya adalah kegagalan sistem 'ekonomi pasar' yang di usung
oleh kaum Ordo-Liberal. Gagasan Keynes ini menggunakan kebijakan eknomi
terdistribusi kemudian teori ekonomi ini menggeser kebijakan ekonomi
liberal menjadi ekonomi state-isme, yang mengarah pada menguatnya peran
negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat.
Ketiga: periode
kapitalisme tak terorganisir atau kapitalisme neoliberal (period of
disorganized capitalism) yang dimulai pada awal 1970-an dan berlangsung
hingga kini. Perubahan ini terjadi pada akhir 1973, ketika negara-negara
Arab, produsen minyak utama dunia membentuk sebuah kartel, OPEC, dan
menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Karena harga minyak yang
terus meningkat, terjadilah gerak naik harga-harga dan upah-upah. Akibat
lebih jauh adalah terjadinya resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi
harga mencapai lebih 20 persen di sejumlah negara, serta meluasnya
ketidakmampuan negara-negara Dunia Ketiga untuk membayar utangnya.
Doktrin Keynes yang telah berjaya pada sebelum dan pasca Perang Dunia
ke-II terbukti tidak mampu menghadapi situasi ini. Tidak hanya bahwa
Keynesian tak lagi mampu memberi solusi, banyak orang yakin bahwa
doktrin Keynesian-lah penyebab utama dari crisis. Kemudian munculah
sebuah gagasan baru yang di pelopori oleh Milton Friedman dan Friedich
Hayek. Ekonom-ekonom ini tidak membantah bahwa pasar dapat gagal dan
memang telah gagal, tapi mereka meyakini bahwa pasar bebas (free trade)
mampu mengalokasikan barang dan jasa secara lebih efektif dibandingkan
negara. Kemunculan gagasan baru ini menyebabkan peranan negara
dimarginalkan (stateless) dan peranannya digantikan oleh perusahaan
multinasional (MNC) yang melintasi batas negara. Dengan jargon
globalisasi dan pasar bebas neoliberalisme semakin menguatkan hegomoni
kapitalisme. Dan permasalahan neoliberalisme bukan hanya berkutat pada
ekonomi, kerusakan alam, eksploitasi manusia, kelaparan, perang serta
penghisapan-penghisapan lainnya merupakan konsekuensi dari perkembangan
kapitalisme global.
Untuk itu harus ada sebuah gerakan yang purikatif
untuk melawan hegemoni tersebut untuk mencegah kerusakan peradaban yang
lebih dahsyat. Perlawanan itu adalah dari skema besar manusia yang
memang terkena dampaknya lansung. Manusia itu manusia yang harus berada
pada ranah sistem sosial yang tertinggi dalam piramida tatanan
masyarakat. Kelas itu tidak lain adalah kaum intelektual.
Gerakan Intelektual Sebagai Agen Rekayasa
Julian Benda menyatakan bahwa "intelektual sejati menciptakan tatanan dalam masyarakat dengan menjunjung standar kebenaran dan keadilan abadi. Intelektual sejati dengan jati dirinya, digerakan oleh dorongan metafisik dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran". Ali Syari’ati juga menambahkan seorang intelektual tidak mencari tujuan praktis, tetapi mereka yang menemukan kepuasan dalam mempraktekan seni dan ilmu pengetahuan, atau spekulasi metafisik. Figur intelektual, bercirikan seorang yang bisa berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, yang tanpa tendeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan individu pemberang. Bagi dia, tak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk dikritik.
Dan
mengkritiknya adalah tugas dia. Seorang intelektual dalam perjalanannya
mengalami tantangan dan hambatannya, seorang intelektual mengalami
keterasingan dan kesendirian, berisiko ditiang bahkan dikeluarkan dari
komunitasnya atau bahkan juga disalib.
Kaum intelektual yang
keberadaannya berawal adanya transformasi sosial yang terjadi di dalam
masyarakat. Kaum intelektual merupakan martir atau bagian orang-orang
tertentu yang bersedia menjadi tumbal dalam menjalankan kehidupan
berdasarkan inteprestasi baru persepsional yang mendasar dalam
masyarakat. Keberadaan seorang intelektual sesungguhnya merupakan
fenomena umum dalam sejarah kehidupan manusia, terutama dapat kita
saksikan pada munculnya status masyarakat baru yang mampu mengemban dan
manjadi kiblat peradaban umat manusia pada zamannya.
Masa Depan Peradaban Manusia
Masa Depan Peradaban Manusia
Neoliberalisme
sebagai tonggak lahirnya kapitalisme global sudah sangat mengurita dan
hampir tak terbendung. Kapitalisme global merupakan peradaban lama harus
dilawan dengan cara me-revolusinya (hijjrah) dengan peradaban baru yang
lebih berpihak kepada masyarakat demi terciptanya kesejaterahan dan
keadilan sosial di masyarakat itu sendiri. Hegomoni arus kapitalisme
global telah merusak hampir seluruh tatanan masyarakat dunia yang
menimbulkan dampak ketimpangan-ketimpangan sosial melalui Multinational
Corporations (MNC).
Seperti yang dikatakan Soeharsono bahwa salah satu
timbulnya peradaban baru adalah ketika adanya perseps-perseps baru
dalam memaknai realitas. Pandangan positivistik yang melatari peradaban
yang kini berkembang menganggap bahwa dunia merupakan mesin raksasa
dimana manusia merupakan bagian dari sekrup-sekrup penyusunnya. Begitu
juga manusia dimaknai seperti mesin, hanya dipandang dari sisi materi.
Dan kini pandangan tersebut semakin mengalami ketimpangan dan kerancuan
dalam aplikasinya. Untuk itu manusia memerlukan konsepsi paradigma
alternatif yang lebih holistik.
Konsepsi ilmu yang memisahkan secara
tegas permasalahan ide dan materi telah menjadi pokok permasalahan
keterasingan ilmu dan realitas sosial. Dalam peradaban alternatif pasca
kapitalisme hubungan antara manusia dan alam semesta tidak dapat lagi
saling menguasai tetapi harus adanya keseimbangan antara keduanya.
Sebagaimana yang dikatakan Fritjof Capra dalam bukunya "Titik Balik
Peradaban" bahwa pemaknaan dunia sebagai mesin raksasa telah
mendatangkan berbagai macam problem dan peradaban tersebut telah
mencapai titik balik. Sebagai gantinya perlu adanya pemaknaan terhadap
realitas dengan perseps yang baru dan lebih sistemik.
Pada abad XX
arah peradaban telah bergeser dari pandangan yang mekanis kearah
pandangan dunia ekologis organis. Kalau dulu dunia dipandang sebagai
balok-balok yang tersusun dan membentuk sistem dunia kini semakin
berubah ke arah pandangan dunia yang sistemik, bahwa dunia merupakan
satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Begitu pula
dengan paradigma positivistik yang hanya mengakui materi sebagai unsur
kehidupan yang bergeser kepada paradigma integralistik yang mengakui
adanya ide dan hal yang bersifat spiritual sebagai penyusun kehidupan.
Dalam
berbagai sistem kehidupan paradigma tersebut telah berkembang. Dalam
sistem keilmuan dengan diakuinya intuisi sebagai salah satu metode
pencarian ilmu telah menggugat metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber
kebenaran. Metode ilmiah kini tidak lagi menjadi ilmu yang pasti
kebenarannya karena masih ada faktor lain yang menentukan kebenaran
suatu penelitian. Dalam sistem sosial sekarang tidak hanya
berkonsentrasi pada relasi antar manusia saja, tetapi lebih luas yaitu
relasi alam dengan manusia menjadi sub pokok dalam membentukan sistem
sosial eco-humanisme.
Dalam aplikasi ilmu kedokteran kini cara
pandang manusia yang diasumsikan sebagai mesin telah bergeser dengan
dikenalnya psikologi dan psikoanalisa sebagai bagian dari metode
kedokteran. Dan dalam aplikasi ekonomi kini pertumbuhan tidak hanya
diorientasikan pada moneter dan fiskal saja bahkan lebih luas, yaitu
termasuk fleksibelitas sosial dan kelestarian lingkungan.
HMI Sebagai Perlawanan
HMI Sebagai Perlawanan
Hari
ini bertepatan dengan tanggal 5 Februari 2007 genap sudah HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) berusia 60 tahun. Di usia yang sudah tidak muda lagi
seharusnya HMI juga semakin matang dalam berfikir dan bertindak. HMI
yang didirikan oleh Lafran Pane 60 tahun silam merupakan organisasi
intelektual keagamaan pertama di Indonesia yang menjadi harapan ummat
dan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan saat itu. Dalam
perjalanannya, HMI juga aktif berperan dalam melakukan
perubahan-perubahan pada zamannya. Selama ini kader HMI selalu aktif
melakukan perlawanan-perlawanan, baik itu perlawanan terhadap penjajahan
terlebih pada perlawanan rezim otoriter. Perlawanan terhadap sikap
otoriterian merupakan sebuah keniscayaan sebagai kader HMI yang
merupakan kaum intelektual yang berfungsi mangayomi ummat dan
masyarakat. Dunia perlawanan bukan suatu yang asing lagi bagi kader HMI,
mulai dari perlawanan fisik hingga pada perlawanan intelektual
(pemikiran).
Kini dalam belenggu kapitalisme global sudah saatnyalah
kader HMI sebagai kaum intelektual melakukan perubahan peradaban dalam
bentuk pemikiran-pemikiran alternatif sebagai bentuk gerakan perlawanan
sosial. Kader HMI tidak hanya diciptakan sebagai insan ulull albab
tetapi juga kader yang mempunyai tanggung jawab moral sebagai anak ummat
dan anak bangsa untuk melakukan perubahan. Maka untuk itu dibutuhkan
bentuk transformasi inheren terhadap ummat dan bangsa untuk melawan
peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai peradaban itu sendiri.
Kader HMI tidak hanya unggul dalam diskursus pemikiran dalam bentuk
grand narasi saja tapi, ia juga harus mampu mentransformasikannya dalam
bentuk aktualisasi konkret yang dapat dirasakan langsung oleh ummat.
Proses transformasi tidak akan berjalan jika kader HMI merasa ekslusive
terhadap ummat itu sendiri. HMI dan ummat merupakan satu kesatuan yang
linear, yang dapat bersinergis untuk mewujudkan gerakan perlawanan
massal, terhadap peradaban kapitalisme global tersebut. Seperti yang
kita tahu kapitalisme global telah melahirkan bentuk penjajahan gaya
baru (neoimperialisme) yang di luar batas kesadaran kitapun ikut
menikmati hasil dari penjajahan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan
mendasar saat ini, mampukah kader HMI sebagai kaum intelektual menjadi
agen pengerak masyarakat sipil (civil society movement) sebagai
perlawanan hegemoni yang menjadi harapan ummat, ditengah dahsyatnya
serangan arus kapitalisme global? Bagaimana HMI melakukan perlawanan
tersebut? Mampukah HMI menjawab semua tantangan tersebut disaat usia
sudah beranjak mapan? HMI yang diharapkan sebagai martir penggerak
perubah peradaban, justeru terjebak kedalam arus peradaban tersebut.
Seperti perilaku konsumtif dan perilaku hedonisme yang merupakan bagian
dari dampak ancaman kapitalisme global. Meskipun kejadian tersebut tidak
dapat digeneralisir, karena masih banyak kader-kader HMI yang masih
tetap konsisten menjalakan idealismenya sebagai agen rekayasa peradaban.
HMI sebagai organisasi intelektual yang berbasiskan keummatan sudah
seharusnyalah HMI lebih banyak berperan melakukan perubahan untuk ummat.
Last but not least rupanya hanya kaum intelektual yang memiliki
integritas tinggi sajalah yang harus serius memikirkannya. Dan bukan
dari kaum intelektual yang justeru menjadi momok bagi masyarakatnya itu
sendiri. Bahkan yang lebih parah lagi, ada sebagian kaum intelektual
justeru menjerumuskan masyarakatnya kedalam jurang kapitalisme global
demi kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Wallahu'alam bissawab
0 Komentar