Menakar Peran HmI Menuju Percaturan Global (artikel merupakan juara 2 dalam lomba karya tulis ilmiah pada dies natalis HmI ke-62 yang diadakan HmI korkom Sunan Ampel kategori angkatan 2007-2008)*


Dalam wacana eksistensi elan juang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sama seperti yang terjadi dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan yang lain, selalu muncul persoalan rel perjuangan yang terdegradasi atau dapat diungkapkan sebagai peran yang hilang dalam sebuah organisasi. Organisasi manapun pernah terserang kehilangan identitas. Bukan hanya biduk kendali organisasi oleng oleh gerusan zaman yang terus bergulir, tapi makna sebuah organisasi di tengah hiruk pikuk masyarakat yang semakin bias dan keahilangan arah.

Organisasi besar seperti HMI ini, tentu saja takkan luput dari permasalahan tadi. Meski di sisi historial HMI memilki segudang trade record yang menawan mengingat sepak terjang yang panjang beserta prestasi mengatsi aral melintang, malahan sering menjadi sebuah kebanggaan para kader yang berkecimpung di dalamnya, namun seringkali hal itu justru tidak menjadikan HMI teguh menatap ke depan, terjebak dalam buaian masa lampau.
*Mohammad Ikhwanuddin, kader HMI Komisariat Syariah

Bahkan, setelah tonggak sejarah ditancakan oleh Lafran Pane dan keempat belas temannya 5 Februari 1947 silam, enam puluh dua tahun yang lalu, HMI merasa tengah mengidap sindrom “terlena oleh kenangan indah”. Setidaknya hal itu yang sering terasa dalam gerak aktivitas kader HMI yang menyebar di seantero Indonesia Raya. Di mana langkah praktis para kader di wilayah grass root, untuk tidak melimpahkan ketidakberesan di Pusat, sering kali terjebak dalam rutinitas yang menjauhkan diri dari tujuan “suci” organisasi ini didirikan. Hal ini pula yang sering membuat kader organisasi ini terasa kering dari kreativitas, atau pembaharuan menurut istilah yang sering digemborkan kalangan “tua”.
Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, sebagai salah satu tujuan berdirinya HMI, seringkali bias dalam warna demo-demo yang sering dijadikan pengejawantahan sikap peduli rakyat. Pun tak beda dengan esensial mulia tujuan beraroma religi yang memantulkan sebuah penekanan pada “Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam” seringkali ternodai dalam aktivitas yang malah menjauhkan diri dari nuansa nilai beragama, dalam hal ini Islam tentunya.
Tentu saja tulisan ini tidak hendak menampik “betapa luhur” demonstrasi dan akibatnya. Tidak terbesit pula untuk memicingkan berbagai peran serta HMI dalam perjuangan fisik. Misalnya melawan PKI dalam pemberontakan Madiun, 18 sepetember 1948 pada rentetan fase perjuangan bersenjata(1947-1949). Kemudian, HMI dikenang pula ikut andil dalam peristiwa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) pada 10 Januari 1966 atas usaha Mari’ie muhammad, menjabat wakil Pengurus Besar (PB) saat itu, memprakarsai berdirinya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Juga peran serta HMI, lewat kader tokohnya, untuk ikut meramaikan jagat pemikiran kontemporer pada fase pergolakan dan pembaharuan pemikiran (awal 1970).
Hanya saja, sering kali terjadi ketimpangan peran dalam organisasi ini, mungkin pula kekurangoptimalan peran. Himpunan Mahasiswa Islam setidaknya memosisikan kader di tiga tempat sekaligus. Sebagai “Himpunan”, HMI mengarahkan kader untuk menjadi organisatoris yang mumpuni. Di mana masih terus dibutuhkan aplikasi nyata dari himpunan ini untuk tidak sekedar berleha-leha memandang tujuan mulia yang terhenti dalam visi dan misi, atau bolehlah dikatakan di atas kertas dan hafalan para intelektual.
Sebagai “Mahasiswa”, kader diupayakan menjadi insan yang benar-benar akademisi. Hal ini tentu berhubungan erat dengan tempat di mana organisasi ini lahir. Setidaknya, HMI mampu membuat kader menjadi lebih bersemangat dan betah dalam usaha mengais ilmu di kampus. Bangku perkuliahan yang senantiasa terduduki, semarak diskusi yang bergelora dalam susut-sudut kampus, bahkan terengkuhnya Indeks Prestasi (IP) bagus tiap semester, dapat menjadikan HMI benar-benar memiliki peran yang signifikan. Inilah yang akan mementahkan argumentasi skeptis bahwa dunia kampus akan terlupakan ketika terjun dalam relung organisasi.
Bagaimana pula dengan “Islam” HMI pastilah tak kalah rumit. Karena tentu saja bukan HMI yang bersyahadat dan bersyariat, melainkan kader yang telah berafiliasi dengan organisasi dan pemahaman jugalah yang terlibat. Dalam sebuah even kaderisasi, Latihan Kader (LK) I di daerah Malang, pernah terlontar sebuah pertanyaan dari calon kader, “Bagaimana sih Islamnya HMI”?. Sebuah pertanyaan yang sepintas dapat bernada anekdot, namun ketika menelisik lebih dalam ternyata mampu merontokkan, setidaknya mempertanyakan, sendi-sendi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) mengenai Islamnya HMI, tentu Islam dengan awal huruf kapital (baca:bukan Islam yang terfragmentasi dalam golongan tertentu).
Ketiga peran HMI di atas sangat membutuhkan pribadi-pribadi kader yang bukan hanya matang secara bergerombol, apalagi hanya menumpang nama besar organisasi dan pendirinya, melainkan kader yang siap bertanggungjawab mandiri untuk menjadi pribadi kader unggul yang siap bertindak dari yang terdekat dengan selalu berpikiran jauh melampau batas (act locally, think globally) seperti yang selalu didengungkan orang Jepang. Karena keberhasilan masyarakat dibangun dari keberhasilan individu-individunya, ujar Emile Durkheim.
Niat baik patut disematkan, harapan teruslah disemaikan. Bukan semata kebaikan sisi “Himpunan” di mana nahkoda baru HMI Arif Musthofa telah dilantik sebagai Ketua Umum PB HMI periode 2008-2010 dalam Kongres HMI XXVI di Asrama Haji, Palembang (5/08/2008) lalu, namun kesetimbangan perbaikan peran yang lain pun harus dipertimbangkan. Karena pada dasarnya berbagai tantangan global, dengan segala bentuk variannya, memantik hawa kompetisi yang semakin ketat, dan membutuhkan jiwa unggul para pembaharu, jiwa yang selalu berproses untuk terus berbenah diri. Selamat Ulang Tahun HMI, Yakusa.

Posting Komentar

0 Komentar