Oleh: Ali Ibrohim
Setelah keluar, para pengemis menghampiriku. Ku terus berlalu dan menyusuri lorong-lorong yang terjejal barang dagangan. Aku mencoba menawar dan ternyata uang 15 ribu bisa mendapatkan lukisan kaca bergambar Bung Karno. Sesampainya di jalan raya, mulai banyak orang mendekat. Beberapa menawarkan minuman, ku menolak karena sedang puasa sunnah. Lainnya menwarkan koran dan ternyata didalamnya bergambar cewek-cewek bugil. Ada juga tukang becak yang menggandeng tanganku sambil bertanya “kemana mas?”. “tidak pak, terima kasih” jawabku. Dengan nada memaksa “ayolah dek..!!”. Lalu aku bergegas naik ke bus.
Diperjalanan
ku temui hal-hal yang menurutku tak ada di desa, metropilitan memang kejam.
Anak-anak kecil bertebaran dengan ‘kentrung’ dan beberapa meminta-minta.
Tidakkah orang tuanya melihat. Tak lama kemudian muncul wanita tua sekitar umur
kepala enam, lengkap dengan pakaian lusuh, bayi di gendongan, alat musik buatan
pribadi di tangan dan topi bergambar partai politik. Rambutnya memanjang, kotor
dan tak karuan yang menggambarkan hidupnya yang tak jelas lagi.
“selamat
sore, para penumpang garda setia, semoga terhibur dan selamat sampai tujuan”tuturnya
kepada sekeliling. Sambil menyebar amplop bertuliskan ‘korban lumpur lapindo’.
Ketika mulai menyanyi beberapa penumpang sinis memandang. Dia melihatku
kebingungan, seakan-akan aku disuruh untuk tidak keluar. Dengan rasa luar biasa
mempertahankan fans paksaan yang akan sangat berguna bagi kehidupannya. Aku
kasihan. Ku isikan uang 2000 di amplop yang telah dia sebarkan bagi setiap
penumpang dan lagunya semakin tak terkendali jauh dari sajak-sajak semestinya.
Tiba-tiba beliau terjatuh dan ‘pyarrr’ menimpa lukisanku. Hatiku hancur serasa
diputus pacar dan kepala pusing selayak dipukul dengan sepatu. Bukan harganya
yang mahal hingga membuatku shock. Tetapi, bagaimana mendapatkannya
lagi. Jauh. Sendiri. Lapar. Memang semua takdir.
“bu,
bagaimana ini?” Tanyaku pada mereka berdua.
“maaf,
itu bukan salahku. Sopirnya saja tidak bilang-bilang” Jawab dia dengan senyum
“ya itu
carinya bu sulit. Apalagi saya lagi puasa” pintaku
“ya
pokoknya bukan salahku”. Bantah dia dengan nada tinggi
Tanpa berpikir lama, ibu itu meninggalkanku yang duduk
paling belakang. Dari depan sampai bertemu aku lagi tanpa malu menyodorkan
gelas plastik tabungan kebanggaannya. Bus berhenti dan keluar begitu saja tanpa
ada penyesalan dan permintaan maaf. Beberapa saat aku melihat sekeliling yang
tadi sesak dan himpitan sekarang terasa lebih sempit, walau penumpang sudah
banyak yang turun. Bus sepi. Hanya ada sekitar kurang dari sepuluh manusia. Aku
bersiap mendarat dan tanpa menunggu lama, bus berhenti dan macet besar terjadi.
Belum sempat kaki yang belakang kuturunkan, dari belakang
sebuah motor menabrak diri yang lesu. Semakin jelas nasibku hari ini. Lapar
akan makan. Haus akan minum. Rusak akan tulisan. Hilang akan kesadaran. Tiba-tiba
ku buka mata, keluarga dan teman-teman sudah berada disekeliling dan aku hanya
luka biasa tak sampai parah. Karena memang tidak tertabrak. Tetapi, hampir.
Biaya rumah sakit dan orang yang menyelamatkanku tadi adalah pengamen tua tadi.
Mungkin tanpa bantuan dia. Aku sudah kehilangan kaki dan tangan. Sebuah
pertolongan tidak selalu dari seorang yang dianggap baik.
Seorang tua dan ku
anggap jahatpun bisa menjadi penolong yang sangat menyelamatkan.
Kini aku benar-benar sadar. Jangan cepat-cepat menilai
seseorang. Apalagi belum begitu kenal. Jangan pula sok kenal. Hari mulai siang
dan sampai berminggu-minggu ku mencarinya. Di terminal, di stasiun, di bus-bus
dan hampir seluruh tempat di kota. Namun, hanya kebingungan dan kehilangan yang
aku rasakan.
0 Komentar